Batak tribe has named Batak alphabet characters. This script is used to write the Batak language. Batak alphabet is closely related to the other archipelago script. This script has several variant forms, depending on the language and region. Broadly speaking, there are five variants of the letter Batak Karo in North Sumatra ie, Toba, Dairi, Simelungun, and Mandailaing.
However, these variants are not too different from each other. Batak script early in Mandailaing. From Mandailaing Batak alphabet spread to the East Toba region (border with Simelungun), then to Simelungun and East Toba. From the East Toba Batak script spread again to Pakpak Dairi. While the Western Toba to Simelungun. Karo script shows the influence, both of Pakpak-Dairi and from Simelungun.
This script must be known by the datu, the person who is respected by the people of Batak because mastering magic, fortune-teller, and calendar.
Type Batak script is part of a clump of Brahmi writing (India). Most of the writing system in Africa, Europe, and Asia come from one source, namely Ancient Semitic script that became the ancestors of Asian writings (Arabic, Hebrew and India) and Europe (Latin, Greek and other).
Batak script includes writing Indian family. The oldest Indian script is Brahmi inscription which lowers the two groups of North India and South India. Nagari script and Pallava each originating from northern and southern groups and both had been used at various places in Southeast Asia, including Indonesia. All original writings Indonesia berinduk the Pallava script as the most influential is the Pallava script.
Batak alphabet is a type of script called Abugida, ie a combination of silabogram and alphabet. Batak alphabet is a combination of alphabetic and syllabic script. Each character has to contain basic consonants and vowels. This is the basic vowel sounds [a]. But with diacritical marks or what is called anak ni letter in Batak language, then this vowel can be changed.
Vowels and consonants in Batak script sorted according to their own traditions, namely: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, yes, nga, la, its , ca, nda, mba, i, u. Batak script is usually written on bamboo / wood. Writing begins from top to bottom, and the line continued from left to right.
Ancient Batak alphabet used to write the Batak manuscripts that included books from the bark of the folded like an accordion. In the book called the Batak language pustaha or library. Pustaha-pustaha is written by a "teacher" or datu (shaman) contains calendar and augury.
Writing letters Batak letter broadly divided into two categories, namely ina ni ni child letters and letters. Ina ni letters are letters forming the basis of Batak alphabet letters. During this time, ina ni known letter consists of: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, yes, nga, la, yes, his, ca , nda, mba, i, u. Nda and MBA is consonant cluster which is only found in the Karo Batak variations.
His whereas only used in Mandailaing but included also in alfabat Toba though not used. Literacy Ca only in Karo while in Angkola-Mandailaing letters written using letters Ca Sa with a diacritical mark called tompi on it.
The child ni in Batak alphabet letter is inserted in the phonetic component ina ni letters (diacritical marks) which serves to alter the pronunciation / spelling of ina ni letter. The diacritical marks may be a sign of vocalizations, nasalization, or fricative. Anak ni letter consists of:
• Sound [e] (hatadingan)
• The sound [ŋ] (paminggil)
• The sound [u] (haborotan)
• The sound [i] (hauluan)
• The sound [o] (sihora)
• Pangolat (sign to remove the sound [a] on ina ni letter)
The names of diacritical marks above only applies to the Toba Batak language. In languages other Batak there are a number of variations of the name ina ni letter. For example Pangolet in Karo language is called (penengen).
As well as letters ina ni, ni children in Batak alphabet letters are also arranged according to their own traditions, namely: [e], [i], [o], [u], [ŋ], [x]. Diacritical marks also have a variant form of one area to another that uses the same script.
Custom home Batak Karo, Indonesian
Wednesday, December 17, 2014
Batak Karo community
Masyarakat Batak Karo mendiami wilayah Kabupaten Karo di Kota Kabanjahe. Orang Karo memiliki pedoman sikap perilaku dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut dengan:
- Merga si Lima
Terdiri atas lima merga terbesar yakni Peranginangin, Karo-karo, Ginting, Sembiring dan Tarigan. Merga adalah organisasi kekerabatan orang Batak Karo. Merga diperhitungkan dari garis keturunan ayah melalui satu nenek moyang laki-laki. Merga tersebut sangat dijunjung tinggi dan merupakan penentu kekerabatan, keturunan, dan jodoh.
- Tutur si Waluh
Merupakan delapan tutur yang menjadi pedoman bagi masyarakat Batak Karo untuk berkomunikasi antarsesama dari lima merga besar. Tutur si Waluh menata bagaimana cara bersikap, bertutur, menyapa, memanggil dan sopan santun secara keseluruhan.
- Rakut si Telu
Adalah tiga unsur kekerabatan yang saling berkaitan, yakni Kalibumbu, Sanina dan Anak Beru. Tiga unsur kekerabatan yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat Batak Karo disebut Sangkep nggeluh. Kalibumbu adalah merga ibu atau merga istri dan saudaranya yang merupakan pihak kerabat pemberi gadis. Senina adalah kelompok kerabat semerga. Anak Beru adalah kelompok kerabat yang menerima gadis.
Harapan dan idaman yang ingin diwujudkan masyarakat Karo adalah pencapaian 3 hal pokok, yaitu tuah, sangab, dan menjuah-juah. Tuah berarti menerima berkat dari Tuhan Yang Maha Esa, memiliki keturunan, banyak kawan, kecerdasan dan kelestarian sumber daya alam untuk generasi mendatang. Sangab berarti mendapat rezeki dan kemakmuran, sementara mejuah-juah artinya sehat sejahtera, aman dan damai.
Salah satu ciri khas masyarakat Karo adalah sifat kekeluargaan. Hal ini terlihat dalam acara ertutur (pertautan hubungan seseorang dengan orang lain) yang dilanjutkan dengan pertanyaan “sudah makan atau belum?”. Apabila orang yang ditanyakan belum makan, maka tuan rumah wajib mengajaknya makan, atau jika belum berumah tangga maka akan dibawa ke rumah orangtua untuk makan bersama.
Jenjang keturunan keluarga pun menentukan tinggi rendahnya tutur kata seseorang, yaitu:
(1) Tutur Meganjang (tingkat tutur tinggi), orang yang mempunyai panggilan dari ayah ke atas.
(2) Tutur Sitengah (tingkat tutur menengah), orang yang mempunyai hubungan panggilan setingkat senina (saudara) atau setimpal.
(3) Tutur Meteruh (tingkat tutur paling rendah), orang yang mempunyai panggilan tingkat anak ke bawah.
Tradisi orang Karo mengharuskan untuk bertindak atau bersikap sopan, yang disebut mehamat. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke Tanah Karo, mereka menganut kepercayaan Pamena. Pamena mengenal adanya Dewa Dibata, yang terdiri atas: (1) Batara Guru sebagai pencipta alam semesta, (2) Benua Holing sebagai dewa yang berkuasa di muka bumi, dan (3) Paduka ni Aji sebagai dewa yang berkuasa di benua bawah. Kepercayaan Pamena meyakini adanya tiga jenis alam yang memiliki makhluk tersendiri, mereka juga memercayai roh nenek moyang dan roh orang mati sadawari (satu hari).
Orang Batak Karo pun mengenal istilah serayaan atau gotong royong. Nilai gotong royong masyarakat Batak Karo berbunyi “Ersada ole bagi singerintak tekang”, artinya bersatu aba-aba seperti orang yang menarik tekang. Tekang adalah tiang agung pada bangunan tradisional rumah adat Karo. Tekang ditarik oleh laki-laki dan perempuan, baik tua atau muda.
Kampung pada masyarakat Batak Karo biasa disebut “kuta” atau “huta”.
Rumah tradisional masyarakat Batak Karo terdiri atas dua macam, yaitu “siwaluh jabu” (rumah biasa) dan “rumah adat siwaluh jabu” (rumah adat). Biasanya penghuni yang menempati rumah siwaluh jabu tidak terikat oleh merga dan peraturan adat.
Masyarakat Batak Karo umumnya bekerja sebagai petani dengan menanam padi dan sayur-sayuran. Dikenal ungkapan tradisional “Bagi Aronku juma” artinya mereka berganti-ganti mengerjakan tanah miliki anggota aron. Aron ialah kelompok kerja yang merupakan sistem gotong royong ketika mengelola tanah persawahan.
Sumber:
Subagijo, Wisnu dan Lindyastuti S. 2000. Mengenal Permukiman Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Merga si Lima
Terdiri atas lima merga terbesar yakni Peranginangin, Karo-karo, Ginting, Sembiring dan Tarigan. Merga adalah organisasi kekerabatan orang Batak Karo. Merga diperhitungkan dari garis keturunan ayah melalui satu nenek moyang laki-laki. Merga tersebut sangat dijunjung tinggi dan merupakan penentu kekerabatan, keturunan, dan jodoh.
- Tutur si Waluh
Merupakan delapan tutur yang menjadi pedoman bagi masyarakat Batak Karo untuk berkomunikasi antarsesama dari lima merga besar. Tutur si Waluh menata bagaimana cara bersikap, bertutur, menyapa, memanggil dan sopan santun secara keseluruhan.
- Rakut si Telu
Adalah tiga unsur kekerabatan yang saling berkaitan, yakni Kalibumbu, Sanina dan Anak Beru. Tiga unsur kekerabatan yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan masyarakat Batak Karo disebut Sangkep nggeluh. Kalibumbu adalah merga ibu atau merga istri dan saudaranya yang merupakan pihak kerabat pemberi gadis. Senina adalah kelompok kerabat semerga. Anak Beru adalah kelompok kerabat yang menerima gadis.
Harapan dan idaman yang ingin diwujudkan masyarakat Karo adalah pencapaian 3 hal pokok, yaitu tuah, sangab, dan menjuah-juah. Tuah berarti menerima berkat dari Tuhan Yang Maha Esa, memiliki keturunan, banyak kawan, kecerdasan dan kelestarian sumber daya alam untuk generasi mendatang. Sangab berarti mendapat rezeki dan kemakmuran, sementara mejuah-juah artinya sehat sejahtera, aman dan damai.
Salah satu ciri khas masyarakat Karo adalah sifat kekeluargaan. Hal ini terlihat dalam acara ertutur (pertautan hubungan seseorang dengan orang lain) yang dilanjutkan dengan pertanyaan “sudah makan atau belum?”. Apabila orang yang ditanyakan belum makan, maka tuan rumah wajib mengajaknya makan, atau jika belum berumah tangga maka akan dibawa ke rumah orangtua untuk makan bersama.
Jenjang keturunan keluarga pun menentukan tinggi rendahnya tutur kata seseorang, yaitu:
(1) Tutur Meganjang (tingkat tutur tinggi), orang yang mempunyai panggilan dari ayah ke atas.
(2) Tutur Sitengah (tingkat tutur menengah), orang yang mempunyai hubungan panggilan setingkat senina (saudara) atau setimpal.
(3) Tutur Meteruh (tingkat tutur paling rendah), orang yang mempunyai panggilan tingkat anak ke bawah.
Tradisi orang Karo mengharuskan untuk bertindak atau bersikap sopan, yang disebut mehamat. Sebelum agama Islam dan Kristen datang ke Tanah Karo, mereka menganut kepercayaan Pamena. Pamena mengenal adanya Dewa Dibata, yang terdiri atas: (1) Batara Guru sebagai pencipta alam semesta, (2) Benua Holing sebagai dewa yang berkuasa di muka bumi, dan (3) Paduka ni Aji sebagai dewa yang berkuasa di benua bawah. Kepercayaan Pamena meyakini adanya tiga jenis alam yang memiliki makhluk tersendiri, mereka juga memercayai roh nenek moyang dan roh orang mati sadawari (satu hari).
Orang Batak Karo pun mengenal istilah serayaan atau gotong royong. Nilai gotong royong masyarakat Batak Karo berbunyi “Ersada ole bagi singerintak tekang”, artinya bersatu aba-aba seperti orang yang menarik tekang. Tekang adalah tiang agung pada bangunan tradisional rumah adat Karo. Tekang ditarik oleh laki-laki dan perempuan, baik tua atau muda.
Kampung pada masyarakat Batak Karo biasa disebut “kuta” atau “huta”.
Rumah tradisional masyarakat Batak Karo terdiri atas dua macam, yaitu “siwaluh jabu” (rumah biasa) dan “rumah adat siwaluh jabu” (rumah adat). Biasanya penghuni yang menempati rumah siwaluh jabu tidak terikat oleh merga dan peraturan adat.
Masyarakat Batak Karo umumnya bekerja sebagai petani dengan menanam padi dan sayur-sayuran. Dikenal ungkapan tradisional “Bagi Aronku juma” artinya mereka berganti-ganti mengerjakan tanah miliki anggota aron. Aron ialah kelompok kerja yang merupakan sistem gotong royong ketika mengelola tanah persawahan.
Sumber:
Subagijo, Wisnu dan Lindyastuti S. 2000. Mengenal Permukiman Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)